1. Makna Cinta di Kalangan Sufi
Dalam tasawuf, konsep cinta (mahabbah) lebih dimaksudkan sebagai bentuk cinta kepada Tuhan. Meski demikian, cinta kepada Tuhan juga akan melahirkan bentuk kasih sayang kepada sesama, bahkan kepada seluruh alam semesta. Hal ini dapat dilacak pada dalil-dalil syara’, baik dalam Al quran maupun hadis yang menunjukkan tentang persoalan cinta. Sebagian dalil tersebut telah disebutkan pada bagian sebelumnya .
Secara terminologis, sebagaimana dikatakan al-Ghazali, cinta adalah suatu kecenderungan terhadap sesuatu yang memberikan manfaat. Apabila kecenderungan itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan rindu. Sedangkan sebaliknya, benci adalah kecenderungan untuk menghindari sesuatu yang menyakiti. Apabila kecenderungan untuk menghindari itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan dendam.
Menurut Abu Yazid al-Busthami mengatakan bahwa cinta adalah menganggap sedikit milikmu yang sedikit dan menganggap banyak milik Dzat yang kau cintai. Sementara Sahl bin Abdullah al-Tustari menyatakan bahwa cinta adalah melakukan tindak-tanduk ketaatan dan menghindari tindak-tanduk kedurhakaan. Bagi al-Junaid, cinta adalah kecenderungan hati. Artinya, kecenderungan hati seseorang kepada Allah dan segala milik-Nya tanpa rasa beban.
2. Cinta Sejati adalah Cinta kepada Allah
Bagi al-Ghazali, orang yang mencintai selain Allah, tapi cintanya tidak disandarkan kepada Allah, maka hal itu karena kebodohan dan kepicikan orang tersebut dalam mengenal Allah. Cinta kepada Rasulullah SAW, misalnya, adalah sesuatu yang terpuji karena cinta tersebut merupakan manifestasi cinta kepada Allah. Hal itu karena Rasulullah adalah orang yang dicintai Allah. Dengan demikian, mencintai orang yang dicintai oleh Allah, berarti juga mencintai Allah itu sendiri. Begitu pula semua bentuk cinta yang ada. Semuanya berpulang kepada cinta terhadap Allah.
Jika sudah dipahami dan disadari dengan baik lima sebab timbulnya cinta yang telah diuraikan al-Ghazali sebelumnya, maka juga bisa disadari bahwa hanya Allah yang mampu mengumpulkan sekaligus kelima faktor penyebab cinta tersebut. Kelima faktor penyebab tersebut terjadi pada diri manusia hanyalah bersifat metaforis (majazi), dan bukanlah hakiki. Hanya Allah Yang Maha Sempurna. Ia tidak bergantung kepada apapun dan siapa pun. Kesempurnaan itulah yang akan mengantarkan seseorang kepada cinta sejati, yaitu cinta terhadap Allah.
3. Mahabbah: antara Maqam dan Hal
Sebagaimana diketahui, dalam terminologi tasawuf ada istilah maqam (tingkatan) dan hal (keadaan, kondisi kejiwaan). Menurut as-Sarraj ath-Thusi dalam kitabnya al-Luma’, maqam merujuk kepada tingkatan seorang hamba di depan Tuhan pada suatu tingkat yang ia ditempatkan di dalamnya, berupa ibadah, mujahadah, riyadhah, dan keterputusan (inqitha’) kepada Allah. Sedangkan hal adalah apa yang terdapat di dalam jiwa atau sesuatu keadaan yang ditempati oleh hati. Sementara menurut al-Junaid, hal adalah suatu “tempat” yang berada di dalam jiwa dan tidak statis.
Menurut al-Ghazali, cinta kepada Allah (mahabbah) merupakan tingkatan (maqam) puncak dari rangkaian tingkatan dalam tasawuf. Tak ada lagi tingkatan setelah mahabbah selain hanya sekedar efek sampingnya saja, seperti rindu (syauq), mesra (uns), rela (ridla), dan sifat-sifat lain yang serupa. Di samping itu, tidak ada satu tingkatan pun sebelum mahabbah selain hanya sekedar pendahuluan atau pengantar menuju ke arah mahabbah, seperti taubat, sabar, zuhud, dan lain-lain. Cinta sebagai maqam ini juga diamini oleh Ibn Arabi. Menurutnya, cinta merupakan maqam ilahi.
Berbeda dengan al-Ghazali, menurut al-Qusyairi, mahabbah merupakan termasuk hal. Bagi al-Qusyairi, cinta kepada Tuhan (mahabbah) merupakan suatu keadaan yang mulia saat Tuhan bersaksi untuk sang hamba atas keadaannya tersebut. Tuhan memberitahukan tentang cinta-Nya kepada sang hamba. Dengan demikian, Tuhan disifati sebagai yang mencintai sang hamba. Selanjutnya, sang hamba pun disifati sebagai yang mencintai Tuhan.
4. Tingkatan Cinta
Dilihat dari segi orangnya, menurut Abu Nashr ath-Thusi, cinta kepada Tuhan terbagi menjadi tiga macam cinta. Pertama, cinta orang-orang awam. Cina seperti ini muncul karena kebaikan dan kasih sayang Tuhan kepada mereka. Ciri-ciri cinta ini adalah ketulusan dan keteringatan (zikir) yang terus-menerus. Karena jika orang mencintai sesuatu, maka ia pun akan sering mengingat dan menyebutnya.
Kedua, cinta orang-orang yang shadiq dan mutahaqqiq. Cinta mereka ini timbul karena penglihatan mata hati mereka terhadap kekayaan, keagungan, kebesaran, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan. Ciri-ciri cinta ini adalah “terkoyaknya tabir” dan “tersingkapnya rahasia” Tuhan. Selain itu, ciri lain adalah lenyapnya kehendak serta hilangnya semua sifat (kemanusiaan dan keinginan duniawi).
Ketiga, cinta orang-orang shiddiq dan arif. Cinta macam ini timbul dari penglihatan dan pengenalan mereka terhadap ke-qadim-an Cinta Tuhan tanpa sebab (illat) apapun. Menurut Zunnun al-Mishri, sifat cinta ini adalah terputusnya cinta dari hati dan tubuh sehingga cinta tidak lagi bersemayam di dalamnya, namun yang bersemayam hanyalah segala sesuatu dengan dan untuk Allah. Sedangkan menurut Abu Ya’qub as-Susi, cirinya alah berpaling dari cinta menuju kepada Yang Dicintai. Sementara al-Junaid menambahkan bahwa ciri cinta macam ini adalah meleburnya sifat-sifat Yang Dicintai kepada yang mencintai sebagai pengganti sifat-sifatnya.
Mahabbah (Cinta)
Mahabbah ertinya perasaan kesukaan dan kecenderungan, dan kasih sayang. Cinta yang memberi kesan dan melanda perasaan seseorang dipanggil semangat; cinta yang begitu dalam dan tidak dapat ditolak bahawa ia membakar untuk penyatuan dipanggil semangat .
Sufi telah mendefinisikan cinta sebagai hubungan hati dengan yang Sang Kekasih, keinginan sangat kuat untuk merasakan-Nya, perjuangan untuk mematuhi kehendak atau perintah-perintah-Nya dalam semua tindakan dan pemikiran, dan keadaan menjadi terpesona dan mabuk tanpa "ketenangan" sehingga masa penyatuan atau perjumpaan.
Definisi ini dapat disimpulkan sebagai "berdiri" di sisi Allah, seperti yang dibebaskan dari semua hubungan fana dan kebimbangan.
Cinta sejati bermakna kasih ditetapkan penuh pada Kekasih, sentiasa dari segi dalaman dengan-Nya, dan sentiasa tidak mempunyai keinginan dan hasrat yang lain .
Setengah-tengah orang yang mempunyai tingkatan cinta ng ysentiasa berdegup dengan pertimbangan baru untuk Kekasih setiap masa.
Imaginasi beliau sentiasa bergerak dalam keadaan misteri-Nya, perasaan beliau menerima mesej baru daripada-Nya pada setiap masa, atau kehendaknya mengambil sayap dengan mesej ini, dan dia bersemangat untuk menemui-Nya.
Walaupun kekasih yang melampaui nya sendiri dengan sayap cinta dan mencapai Tuhan di titik keghairahan dan semangat, dan dalam apa-apa keadaan yang menjalankan tanggungjawab mereka ke arah Raja atau hatinya, hati yang sama ditetapkan pada penglihatan-Nya.
Seperti sifat seorang mukmin adalah "terbakar" dengan cahaya Ilahi, dan hilang dalam keajaiban dan kekaguman. Dengan cawan cinta di bibir seseorang, kesamaran yang ghaib terangkat satu demi satu, mereka menjadi mabuk dengan mengkaji makna dalam sinar dari belakang mereka terhijab, dan terpesona dengan keseronokan menonton tabir belakang mereka.
Seseorang yang berjalan dan berhenti berlaku dengan perintah Allah, ucapan tidak lebih daripada inspirasi yang datang daripada-Nya, dan diam, apabila diperhatikan, dilakukan dalam nama-Nya. Pada pelbagai masa ia mengembara ke arah-Nya dalam gengamannya atau diduduki dengan menyampaikan mesej-Nya kepada orang lain.
Ada yang menakrifkan cinta, dalam konteks kasih Allah di antara hambaNya, seperti berbuat baik, ketaatan, pengabdian, dan penyerahan tanpa syarat dalam konteks cinta hamba Allah.
Ini syair wanita Sufi terkenala Rabi'a al-'Adawiya sangat penting dalam menyatakan makna ini:
Anda bercakap tentang Tuhan yang mengasihi semasa anda menderhaka kepadaNya;
Saya bersumpah dengan hidup saya bahawa ini adalah sesuatu yang sangat pelik.
Jika anda benar cinta , anda akan taat kepada-Nya,
Kerana seorang pecinta taat kepada yang dicintainya.
Cinta adalah berdasarkan dua tiang penting: apa yang ditunjukkan oleh tindakan yang kekasih (kekasih cuba mematuhi kehendak Kekasih), dan dunia dalaman yang kekasih (kekasih yang perlu dari segi dalaman ditutup untuk apa-apa yang tidak berkaitan dengan-Nya).
Lelaki dan wanita Allah yang benar bermakna apabila mereka bercakap tentang cinta. Menurut mereka, kebimbangan emosi atau cinta kepada apa-apa jenis keseronokan, termasuk orang-orang rohani atau kepentingan, tidak boleh dipanggil "cinta" dalam erti kata sebenar. Ia hanya boleh menjadi cinta kiasan.
Setiap kekasih tidak boleh berasa tahap yang sama cintakan pada Kekasih, cinta berbeza-beza mengikut rohani dan emosi mendalam kekasih, tahap kesedaran dan penjagaan dalam ketaatan kepada Kekasih.
Sebagai contoh, cinta yang dirasai oleh mereka yang bermula dengan cara yang tidak ditubuhkan dan berterusan. Mereka bermimpi memperoleh pangkat kebaikan sempurna dan, pada masa-masa, menerima tanda-tanda yang mengetahui tentang Tuhan, keseronokan yang sekejap daripada "cahaya" yang terdapat di kaki langit, dan merasa kehairanan dan tertanya-tanya.
Sebaliknya, mereka yang telah membuat banyak kemajuan terbang di langit cinta ke arah titik tertinggi.
Mereka hidup dalam iklim yang terang dari Al-Quran sebagai penjelmaan dan contoh akhlak terpuji Nabi Muhammad SAW, apabila dia menjadi keamanan dan rahmat. Ketika cuba untuk mewakili akhlak yang baik, mereka tidak mengharapkan sebarang balasan kebendaan atau spiritual dan tidak menuntut kesenangan.
Malah di puncak suci ini, seperti pokok buah-buahan yang bengkok kerana dengan berat buah-buahan mereka, mereka merendahkan sayap mereka merendah diri dan sentiasa menyebut Kekasih. Jika mereka digoncang dengan suatu kesalahan atau kesilapan, mereka mengkritik teruk dan berjuang dengan diri mereka.
Dan akhirnya, mereka yang paling maju dalam menajdi kekasih Tuhan seperti awan hujan di dalam "syurga" Islam. Mereka merasakan kewujudan-Nya, hidup dengan Dia, dan melihat dan menarik nafas oleh-Nya.
Dalam kitaran yang tidak berkesudahan, mereka penuh dengan kesedihan perpisahan (dari kebenaran) dan keinginan untuk menemui-Nya; apabila lega atau dikosongkan, mereka naik pada pancaran cahaya dan turun ke bumi untuk memeluk seluruh kewujudan.
Orang yang berpaling kepada-Nya dengan sepenuh hati keinginan dan semangat yang ikhlas, tanpa mengira tahap cinta, menerima ganjaran mengikut kedalaman perasaan dan kebimbangan bagi-Nya.
Kumpulan pertama orang yang disebutkan di atas menerima kurniaan istimewa dan belas kasihan. Kumpulan kedua orang mencapai ufuk Keperibadian Rahmat dan dibebaskan daripada kecacatan watak.
Dengan kumpulan ketiga diserikan oleh cahaya Wujud-Nya, dikejutkan dengan realiti , dan berhubung dengan dimensi kewujudan belakang tabir iaitu, Yang Maha Kuasa menjelma cahaya untuk membakar sifat-sifat jasmani dari orang-orang yang Ia kasihi dan mengangkat mereka ke alam sifat-sifat Ilahi, seperti Yang Maha Melihat dan Maha Mendengar.
Dia menyedarkan mereka sepenuhnya kepada fakta bahawa mereka adalah miskin dan tidak berdaya di hadapan-Nya, dan memenuhi hati mereka dengan cahaya kewujudan-Nya.
Seseorang yang kasih sayang telah mencapai tahap ini, dan diberi ganjaran dengan nikmat Ilahi begitu banyak, mencapai kehidupan yang kekal di luar ada wujud atau tidak. Seperti bar besi dimasukkan ke dalam api dan dengan itu muncul sebagai bar kebakaran, seperti kekasih yang tidak dapat membezakan Menjadi Ilahi dan manifestasi-Nya, dan oleh itu meluahkan perasaan dan pengalaman dari segi yang berkaitan dengan kepercayaan itu palsu , sebagai penjelmaan dan kesatuan (dengan Tuhan). Dalam keadaan sedemikian, seseorang itu perlu mengambil kira kriteria yang ditetapkan Sunnah ini.
Ungkapan yang diucapkan oleh individu yang rohani hilang dan tenggelam dalam kasih Tuhan dan mabuk dengan cinta Allah, tidak boleh digunakan sebagai kriteria yang digunakan untuk menilai mereka.
Jika tidak, kita mungkin merasa bermusuhan ke arah rakan-rakan seperti Tuhan, yang digemari dengan berterusan beliau menurut Tradisi Nabi: Seorang lelaki adalah dengan dia yang dia suka, dan, seperti yang diisytiharkan dalam hadis Qudsi: Sesiapa yang menjadi musuh terhadap kawan-kawan ku, telah melancarkan perang ke atas-Ku.
Mahabbah ertinya perasaan kesukaan dan kecenderungan, dan kasih sayang. Cinta yang memberi kesan dan melanda perasaan seseorang dipanggil semangat; cinta yang begitu dalam dan tidak dapat ditolak bahawa ia membakar untuk penyatuan dipanggil semangat .
Sufi telah mendefinisikan cinta sebagai hubungan hati dengan yang Sang Kekasih, keinginan sangat kuat untuk merasakan-Nya, perjuangan untuk mematuhi kehendak atau perintah-perintah-Nya dalam semua tindakan dan pemikiran, dan keadaan menjadi terpesona dan mabuk tanpa "ketenangan" sehingga masa penyatuan atau perjumpaan.
Definisi ini dapat disimpulkan sebagai "berdiri" di sisi Allah, seperti yang dibebaskan dari semua hubungan fana dan kebimbangan.
Cinta sejati bermakna kasih ditetapkan penuh pada Kekasih, sentiasa dari segi dalaman dengan-Nya, dan sentiasa tidak mempunyai keinginan dan hasrat yang lain .
Setengah-tengah orang yang mempunyai tingkatan cinta ng ysentiasa berdegup dengan pertimbangan baru untuk Kekasih setiap masa.
Imaginasi beliau sentiasa bergerak dalam keadaan misteri-Nya, perasaan beliau menerima mesej baru daripada-Nya pada setiap masa, atau kehendaknya mengambil sayap dengan mesej ini, dan dia bersemangat untuk menemui-Nya.
Walaupun kekasih yang melampaui nya sendiri dengan sayap cinta dan mencapai Tuhan di titik keghairahan dan semangat, dan dalam apa-apa keadaan yang menjalankan tanggungjawab mereka ke arah Raja atau hatinya, hati yang sama ditetapkan pada penglihatan-Nya.
Seperti sifat seorang mukmin adalah "terbakar" dengan cahaya Ilahi, dan hilang dalam keajaiban dan kekaguman. Dengan cawan cinta di bibir seseorang, kesamaran yang ghaib terangkat satu demi satu, mereka menjadi mabuk dengan mengkaji makna dalam sinar dari belakang mereka terhijab, dan terpesona dengan keseronokan menonton tabir belakang mereka.
Seseorang yang berjalan dan berhenti berlaku dengan perintah Allah, ucapan tidak lebih daripada inspirasi yang datang daripada-Nya, dan diam, apabila diperhatikan, dilakukan dalam nama-Nya. Pada pelbagai masa ia mengembara ke arah-Nya dalam gengamannya atau diduduki dengan menyampaikan mesej-Nya kepada orang lain.
Ada yang menakrifkan cinta, dalam konteks kasih Allah di antara hambaNya, seperti berbuat baik, ketaatan, pengabdian, dan penyerahan tanpa syarat dalam konteks cinta hamba Allah.
Ini syair wanita Sufi terkenala Rabi'a al-'Adawiya sangat penting dalam menyatakan makna ini:
Anda bercakap tentang Tuhan yang mengasihi semasa anda menderhaka kepadaNya;
Saya bersumpah dengan hidup saya bahawa ini adalah sesuatu yang sangat pelik.
Jika anda benar cinta , anda akan taat kepada-Nya,
Kerana seorang pecinta taat kepada yang dicintainya.
Cinta adalah berdasarkan dua tiang penting: apa yang ditunjukkan oleh tindakan yang kekasih (kekasih cuba mematuhi kehendak Kekasih), dan dunia dalaman yang kekasih (kekasih yang perlu dari segi dalaman ditutup untuk apa-apa yang tidak berkaitan dengan-Nya).
Lelaki dan wanita Allah yang benar bermakna apabila mereka bercakap tentang cinta. Menurut mereka, kebimbangan emosi atau cinta kepada apa-apa jenis keseronokan, termasuk orang-orang rohani atau kepentingan, tidak boleh dipanggil "cinta" dalam erti kata sebenar. Ia hanya boleh menjadi cinta kiasan.
Setiap kekasih tidak boleh berasa tahap yang sama cintakan pada Kekasih, cinta berbeza-beza mengikut rohani dan emosi mendalam kekasih, tahap kesedaran dan penjagaan dalam ketaatan kepada Kekasih.
Sebagai contoh, cinta yang dirasai oleh mereka yang bermula dengan cara yang tidak ditubuhkan dan berterusan. Mereka bermimpi memperoleh pangkat kebaikan sempurna dan, pada masa-masa, menerima tanda-tanda yang mengetahui tentang Tuhan, keseronokan yang sekejap daripada "cahaya" yang terdapat di kaki langit, dan merasa kehairanan dan tertanya-tanya.
Sebaliknya, mereka yang telah membuat banyak kemajuan terbang di langit cinta ke arah titik tertinggi.
Mereka hidup dalam iklim yang terang dari Al-Quran sebagai penjelmaan dan contoh akhlak terpuji Nabi Muhammad SAW, apabila dia menjadi keamanan dan rahmat. Ketika cuba untuk mewakili akhlak yang baik, mereka tidak mengharapkan sebarang balasan kebendaan atau spiritual dan tidak menuntut kesenangan.
Malah di puncak suci ini, seperti pokok buah-buahan yang bengkok kerana dengan berat buah-buahan mereka, mereka merendahkan sayap mereka merendah diri dan sentiasa menyebut Kekasih. Jika mereka digoncang dengan suatu kesalahan atau kesilapan, mereka mengkritik teruk dan berjuang dengan diri mereka.
Dan akhirnya, mereka yang paling maju dalam menajdi kekasih Tuhan seperti awan hujan di dalam "syurga" Islam. Mereka merasakan kewujudan-Nya, hidup dengan Dia, dan melihat dan menarik nafas oleh-Nya.
Dalam kitaran yang tidak berkesudahan, mereka penuh dengan kesedihan perpisahan (dari kebenaran) dan keinginan untuk menemui-Nya; apabila lega atau dikosongkan, mereka naik pada pancaran cahaya dan turun ke bumi untuk memeluk seluruh kewujudan.
Orang yang berpaling kepada-Nya dengan sepenuh hati keinginan dan semangat yang ikhlas, tanpa mengira tahap cinta, menerima ganjaran mengikut kedalaman perasaan dan kebimbangan bagi-Nya.
Kumpulan pertama orang yang disebutkan di atas menerima kurniaan istimewa dan belas kasihan. Kumpulan kedua orang mencapai ufuk Keperibadian Rahmat dan dibebaskan daripada kecacatan watak.
Dengan kumpulan ketiga diserikan oleh cahaya Wujud-Nya, dikejutkan dengan realiti , dan berhubung dengan dimensi kewujudan belakang tabir iaitu, Yang Maha Kuasa menjelma cahaya untuk membakar sifat-sifat jasmani dari orang-orang yang Ia kasihi dan mengangkat mereka ke alam sifat-sifat Ilahi, seperti Yang Maha Melihat dan Maha Mendengar.
Dia menyedarkan mereka sepenuhnya kepada fakta bahawa mereka adalah miskin dan tidak berdaya di hadapan-Nya, dan memenuhi hati mereka dengan cahaya kewujudan-Nya.
Seseorang yang kasih sayang telah mencapai tahap ini, dan diberi ganjaran dengan nikmat Ilahi begitu banyak, mencapai kehidupan yang kekal di luar ada wujud atau tidak. Seperti bar besi dimasukkan ke dalam api dan dengan itu muncul sebagai bar kebakaran, seperti kekasih yang tidak dapat membezakan Menjadi Ilahi dan manifestasi-Nya, dan oleh itu meluahkan perasaan dan pengalaman dari segi yang berkaitan dengan kepercayaan itu palsu , sebagai penjelmaan dan kesatuan (dengan Tuhan). Dalam keadaan sedemikian, seseorang itu perlu mengambil kira kriteria yang ditetapkan Sunnah ini.
Ungkapan yang diucapkan oleh individu yang rohani hilang dan tenggelam dalam kasih Tuhan dan mabuk dengan cinta Allah, tidak boleh digunakan sebagai kriteria yang digunakan untuk menilai mereka.
Jika tidak, kita mungkin merasa bermusuhan ke arah rakan-rakan seperti Tuhan, yang digemari dengan berterusan beliau menurut Tradisi Nabi: Seorang lelaki adalah dengan dia yang dia suka, dan, seperti yang diisytiharkan dalam hadis Qudsi: Sesiapa yang menjadi musuh terhadap kawan-kawan ku, telah melancarkan perang ke atas-Ku.
1. Makna Cinta di Kalangan Sufi
Dalam tasawuf, konsep cinta (mahabbah) lebih dimaksudkan sebagai bentuk cinta kepada Tuhan. Meski demikian, cinta kepada Tuhan juga akan melahirkan bentuk kasih sayang kepada sesama, bahkan kepada seluruh alam semesta. Hal ini dapat dilacak pada dalil-dalil syara’, baik dalam Al quran maupun hadis yang menunjukkan tentang persoalan cinta. Sebagian dalil tersebut telah disebutkan pada bagian sebelumnya .
Secara terminologis, sebagaimana dikatakan al-Ghazali, cinta adalah suatu kecenderungan terhadap sesuatu yang memberikan manfaat. Apabila kecenderungan itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan rindu. Sedangkan sebaliknya, benci adalah kecenderungan untuk menghindari sesuatu yang menyakiti. Apabila kecenderungan untuk menghindari itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan dendam.
Menurut Abu Yazid al-Busthami mengatakan bahwa cinta adalah menganggap sedikit milikmu yang sedikit dan menganggap banyak milik Dzat yang kau cintai. Sementara Sahl bin Abdullah al-Tustari menyatakan bahwa cinta adalah melakukan tindak-tanduk ketaatan dan menghindari tindak-tanduk kedurhakaan. Bagi al-Junaid, cinta adalah kecenderungan hati. Artinya, kecenderungan hati seseorang kepada Allah dan segala milik-Nya tanpa rasa beban.
2. Cinta Sejati adalah Cinta kepada Allah
Bagi al-Ghazali, orang yang mencintai selain Allah, tapi cintanya tidak disandarkan kepada Allah, maka hal itu karena kebodohan dan kepicikan orang tersebut dalam mengenal Allah. Cinta kepada Rasulullah SAW, misalnya, adalah sesuatu yang terpuji karena cinta tersebut merupakan manifestasi cinta kepada Allah. Hal itu karena Rasulullah adalah orang yang dicintai Allah. Dengan demikian, mencintai orang yang dicintai oleh Allah, berarti juga mencintai Allah itu sendiri. Begitu pula semua bentuk cinta yang ada. Semuanya berpulang kepada cinta terhadap Allah.
Jika sudah dipahami dan disadari dengan baik lima sebab timbulnya cinta yang telah diuraikan al-Ghazali sebelumnya, maka juga bisa disadari bahwa hanya Allah yang mampu mengumpulkan sekaligus kelima faktor penyebab cinta tersebut. Kelima faktor penyebab tersebut terjadi pada diri manusia hanyalah bersifat metaforis (majazi), dan bukanlah hakiki. Hanya Allah Yang Maha Sempurna. Ia tidak bergantung kepada apapun dan siapa pun. Kesempurnaan itulah yang akan mengantarkan seseorang kepada cinta sejati, yaitu cinta terhadap Allah.
3. Mahabbah: antara Maqam dan Hal
Sebagaimana diketahui, dalam terminologi tasawuf ada istilah maqam (tingkatan) dan hal (keadaan, kondisi kejiwaan). Menurut as-Sarraj ath-Thusi dalam kitabnya al-Luma’, maqam merujuk kepada tingkatan seorang hamba di depan Tuhan pada suatu tingkat yang ia ditempatkan di dalamnya, berupa ibadah, mujahadah, riyadhah, dan keterputusan (inqitha’) kepada Allah. Sedangkan hal adalah apa yang terdapat di dalam jiwa atau sesuatu keadaan yang ditempati oleh hati. Sementara menurut al-Junaid, hal adalah suatu “tempat” yang berada di dalam jiwa dan tidak statis.
Menurut al-Ghazali, cinta kepada Allah (mahabbah) merupakan tingkatan (maqam) puncak dari rangkaian tingkatan dalam tasawuf. Tak ada lagi tingkatan setelah mahabbah selain hanya sekedar efek sampingnya saja, seperti rindu (syauq), mesra (uns), rela (ridla), dan sifat-sifat lain yang serupa. Di samping itu, tidak ada satu tingkatan pun sebelum mahabbah selain hanya sekedar pendahuluan atau pengantar menuju ke arah mahabbah, seperti taubat, sabar, zuhud, dan lain-lain. Cinta sebagai maqam ini juga diamini oleh Ibn Arabi. Menurutnya, cinta merupakan maqam ilahi.
Berbeda dengan al-Ghazali, menurut al-Qusyairi, mahabbah merupakan termasuk hal. Bagi al-Qusyairi, cinta kepada Tuhan (mahabbah) merupakan suatu keadaan yang mulia saat Tuhan bersaksi untuk sang hamba atas keadaannya tersebut. Tuhan memberitahukan tentang cinta-Nya kepada sang hamba. Dengan demikian, Tuhan disifati sebagai yang mencintai sang hamba. Selanjutnya, sang hamba pun disifati sebagai yang mencintai Tuhan.
4. Tingkatan Cinta
Dilihat dari segi orangnya, menurut Abu Nashr ath-Thusi, cinta kepada Tuhan terbagi menjadi tiga macam cinta. Pertama, cinta orang-orang awam. Cina seperti ini muncul karena kebaikan dan kasih sayang Tuhan kepada mereka. Ciri-ciri cinta ini adalah ketulusan dan keteringatan (zikir) yang terus-menerus. Karena jika orang mencintai sesuatu, maka ia pun akan sering mengingat dan menyebutnya.
Kedua, cinta orang-orang yang shadiq dan mutahaqqiq. Cinta mereka ini timbul karena penglihatan mata hati mereka terhadap kekayaan, keagungan, kebesaran, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan. Ciri-ciri cinta ini adalah “terkoyaknya tabir” dan “tersingkapnya rahasia” Tuhan. Selain itu, ciri lain adalah lenyapnya kehendak serta hilangnya semua sifat (kemanusiaan dan keinginan duniawi).
Ketiga, cinta orang-orang shiddiq dan arif. Cinta macam ini timbul dari penglihatan dan pengenalan mereka terhadap ke-qadim-an Cinta Tuhan tanpa sebab (illat) apapun. Menurut Zunnun al-Mishri, sifat cinta ini adalah terputusnya cinta dari hati dan tubuh sehingga cinta tidak lagi bersemayam di dalamnya, namun yang bersemayam hanyalah segala sesuatu dengan dan untuk Allah. Sedangkan menurut Abu Ya’qub as-Susi, cirinya alah berpaling dari cinta menuju kepada Yang Dicintai. Sementara al-Junaid menambahkan bahwa ciri cinta macam ini adalah meleburnya sifat-sifat Yang Dicintai kepada yang mencintai sebagai pengganti sifat-sifatnya.
Mahabbah (Cinta)
Mahabbah ertinya perasaan kesukaan dan kecenderungan, dan kasih sayang. Cinta yang memberi kesan dan melanda perasaan seseorang dipanggil semangat; cinta yang begitu dalam dan tidak dapat ditolak bahawa ia membakar untuk penyatuan dipanggil semangat .
Sufi telah mendefinisikan cinta sebagai hubungan hati dengan yang Sang Kekasih, keinginan sangat kuat untuk merasakan-Nya, perjuangan untuk mematuhi kehendak atau perintah-perintah-Nya dalam semua tindakan dan pemikiran, dan keadaan menjadi terpesona dan mabuk tanpa "ketenangan" sehingga masa penyatuan atau perjumpaan.
Definisi ini dapat disimpulkan sebagai "berdiri" di sisi Allah, seperti yang dibebaskan dari semua hubungan fana dan kebimbangan.
Cinta sejati bermakna kasih ditetapkan penuh pada Kekasih, sentiasa dari segi dalaman dengan-Nya, dan sentiasa tidak mempunyai keinginan dan hasrat yang lain .
Setengah-tengah orang yang mempunyai tingkatan cinta ng ysentiasa berdegup dengan pertimbangan baru untuk Kekasih setiap masa.
Imaginasi beliau sentiasa bergerak dalam keadaan misteri-Nya, perasaan beliau menerima mesej baru daripada-Nya pada setiap masa, atau kehendaknya mengambil sayap dengan mesej ini, dan dia bersemangat untuk menemui-Nya.
Walaupun kekasih yang melampaui nya sendiri dengan sayap cinta dan mencapai Tuhan di titik keghairahan dan semangat, dan dalam apa-apa keadaan yang menjalankan tanggungjawab mereka ke arah Raja atau hatinya, hati yang sama ditetapkan pada penglihatan-Nya.
Seperti sifat seorang mukmin adalah "terbakar" dengan cahaya Ilahi, dan hilang dalam keajaiban dan kekaguman. Dengan cawan cinta di bibir seseorang, kesamaran yang ghaib terangkat satu demi satu, mereka menjadi mabuk dengan mengkaji makna dalam sinar dari belakang mereka terhijab, dan terpesona dengan keseronokan menonton tabir belakang mereka.
Seseorang yang berjalan dan berhenti berlaku dengan perintah Allah, ucapan tidak lebih daripada inspirasi yang datang daripada-Nya, dan diam, apabila diperhatikan, dilakukan dalam nama-Nya. Pada pelbagai masa ia mengembara ke arah-Nya dalam gengamannya atau diduduki dengan menyampaikan mesej-Nya kepada orang lain.
Ada yang menakrifkan cinta, dalam konteks kasih Allah di antara hambaNya, seperti berbuat baik, ketaatan, pengabdian, dan penyerahan tanpa syarat dalam konteks cinta hamba Allah.
Ini syair wanita Sufi terkenala Rabi'a al-'Adawiya sangat penting dalam menyatakan makna ini:
Anda bercakap tentang Tuhan yang mengasihi semasa anda menderhaka kepadaNya;
Saya bersumpah dengan hidup saya bahawa ini adalah sesuatu yang sangat pelik.
Jika anda benar cinta , anda akan taat kepada-Nya,
Kerana seorang pecinta taat kepada yang dicintainya.
Cinta adalah berdasarkan dua tiang penting: apa yang ditunjukkan oleh tindakan yang kekasih (kekasih cuba mematuhi kehendak Kekasih), dan dunia dalaman yang kekasih (kekasih yang perlu dari segi dalaman ditutup untuk apa-apa yang tidak berkaitan dengan-Nya).
Lelaki dan wanita Allah yang benar bermakna apabila mereka bercakap tentang cinta. Menurut mereka, kebimbangan emosi atau cinta kepada apa-apa jenis keseronokan, termasuk orang-orang rohani atau kepentingan, tidak boleh dipanggil "cinta" dalam erti kata sebenar. Ia hanya boleh menjadi cinta kiasan.
Setiap kekasih tidak boleh berasa tahap yang sama cintakan pada Kekasih, cinta berbeza-beza mengikut rohani dan emosi mendalam kekasih, tahap kesedaran dan penjagaan dalam ketaatan kepada Kekasih.
Sebagai contoh, cinta yang dirasai oleh mereka yang bermula dengan cara yang tidak ditubuhkan dan berterusan. Mereka bermimpi memperoleh pangkat kebaikan sempurna dan, pada masa-masa, menerima tanda-tanda yang mengetahui tentang Tuhan, keseronokan yang sekejap daripada "cahaya" yang terdapat di kaki langit, dan merasa kehairanan dan tertanya-tanya.
Sebaliknya, mereka yang telah membuat banyak kemajuan terbang di langit cinta ke arah titik tertinggi.
Mereka hidup dalam iklim yang terang dari Al-Quran sebagai penjelmaan dan contoh akhlak terpuji Nabi Muhammad SAW, apabila dia menjadi keamanan dan rahmat. Ketika cuba untuk mewakili akhlak yang baik, mereka tidak mengharapkan sebarang balasan kebendaan atau spiritual dan tidak menuntut kesenangan.
Malah di puncak suci ini, seperti pokok buah-buahan yang bengkok kerana dengan berat buah-buahan mereka, mereka merendahkan sayap mereka merendah diri dan sentiasa menyebut Kekasih. Jika mereka digoncang dengan suatu kesalahan atau kesilapan, mereka mengkritik teruk dan berjuang dengan diri mereka.
Dan akhirnya, mereka yang paling maju dalam menajdi kekasih Tuhan seperti awan hujan di dalam "syurga" Islam. Mereka merasakan kewujudan-Nya, hidup dengan Dia, dan melihat dan menarik nafas oleh-Nya.
Dalam kitaran yang tidak berkesudahan, mereka penuh dengan kesedihan perpisahan (dari kebenaran) dan keinginan untuk menemui-Nya; apabila lega atau dikosongkan, mereka naik pada pancaran cahaya dan turun ke bumi untuk memeluk seluruh kewujudan.
Orang yang berpaling kepada-Nya dengan sepenuh hati keinginan dan semangat yang ikhlas, tanpa mengira tahap cinta, menerima ganjaran mengikut kedalaman perasaan dan kebimbangan bagi-Nya.
Kumpulan pertama orang yang disebutkan di atas menerima kurniaan istimewa dan belas kasihan. Kumpulan kedua orang mencapai ufuk Keperibadian Rahmat dan dibebaskan daripada kecacatan watak.
Dengan kumpulan ketiga diserikan oleh cahaya Wujud-Nya, dikejutkan dengan realiti , dan berhubung dengan dimensi kewujudan belakang tabir iaitu, Yang Maha Kuasa menjelma cahaya untuk membakar sifat-sifat jasmani dari orang-orang yang Ia kasihi dan mengangkat mereka ke alam sifat-sifat Ilahi, seperti Yang Maha Melihat dan Maha Mendengar.
Dia menyedarkan mereka sepenuhnya kepada fakta bahawa mereka adalah miskin dan tidak berdaya di hadapan-Nya, dan memenuhi hati mereka dengan cahaya kewujudan-Nya.
Seseorang yang kasih sayang telah mencapai tahap ini, dan diberi ganjaran dengan nikmat Ilahi begitu banyak, mencapai kehidupan yang kekal di luar ada wujud atau tidak. Seperti bar besi dimasukkan ke dalam api dan dengan itu muncul sebagai bar kebakaran, seperti kekasih yang tidak dapat membezakan Menjadi Ilahi dan manifestasi-Nya, dan oleh itu meluahkan perasaan dan pengalaman dari segi yang berkaitan dengan kepercayaan itu palsu , sebagai penjelmaan dan kesatuan (dengan Tuhan). Dalam keadaan sedemikian, seseorang itu perlu mengambil kira kriteria yang ditetapkan Sunnah ini.
Ungkapan yang diucapkan oleh individu yang rohani hilang dan tenggelam dalam kasih Tuhan dan mabuk dengan cinta Allah, tidak boleh digunakan sebagai kriteria yang digunakan untuk menilai mereka.
Jika tidak, kita mungkin merasa bermusuhan ke arah rakan-rakan seperti Tuhan, yang digemari dengan berterusan beliau menurut Tradisi Nabi: Seorang lelaki adalah dengan dia yang dia suka, dan, seperti yang diisytiharkan dalam hadis Qudsi: Sesiapa yang menjadi musuh terhadap kawan-kawan ku, telah melancarkan perang ke atas-Ku.
Mahabbah ertinya perasaan kesukaan dan kecenderungan, dan kasih sayang. Cinta yang memberi kesan dan melanda perasaan seseorang dipanggil semangat; cinta yang begitu dalam dan tidak dapat ditolak bahawa ia membakar untuk penyatuan dipanggil semangat .
Sufi telah mendefinisikan cinta sebagai hubungan hati dengan yang Sang Kekasih, keinginan sangat kuat untuk merasakan-Nya, perjuangan untuk mematuhi kehendak atau perintah-perintah-Nya dalam semua tindakan dan pemikiran, dan keadaan menjadi terpesona dan mabuk tanpa "ketenangan" sehingga masa penyatuan atau perjumpaan.
Definisi ini dapat disimpulkan sebagai "berdiri" di sisi Allah, seperti yang dibebaskan dari semua hubungan fana dan kebimbangan.
Cinta sejati bermakna kasih ditetapkan penuh pada Kekasih, sentiasa dari segi dalaman dengan-Nya, dan sentiasa tidak mempunyai keinginan dan hasrat yang lain .
Setengah-tengah orang yang mempunyai tingkatan cinta ng ysentiasa berdegup dengan pertimbangan baru untuk Kekasih setiap masa.
Imaginasi beliau sentiasa bergerak dalam keadaan misteri-Nya, perasaan beliau menerima mesej baru daripada-Nya pada setiap masa, atau kehendaknya mengambil sayap dengan mesej ini, dan dia bersemangat untuk menemui-Nya.
Walaupun kekasih yang melampaui nya sendiri dengan sayap cinta dan mencapai Tuhan di titik keghairahan dan semangat, dan dalam apa-apa keadaan yang menjalankan tanggungjawab mereka ke arah Raja atau hatinya, hati yang sama ditetapkan pada penglihatan-Nya.
Seperti sifat seorang mukmin adalah "terbakar" dengan cahaya Ilahi, dan hilang dalam keajaiban dan kekaguman. Dengan cawan cinta di bibir seseorang, kesamaran yang ghaib terangkat satu demi satu, mereka menjadi mabuk dengan mengkaji makna dalam sinar dari belakang mereka terhijab, dan terpesona dengan keseronokan menonton tabir belakang mereka.
Seseorang yang berjalan dan berhenti berlaku dengan perintah Allah, ucapan tidak lebih daripada inspirasi yang datang daripada-Nya, dan diam, apabila diperhatikan, dilakukan dalam nama-Nya. Pada pelbagai masa ia mengembara ke arah-Nya dalam gengamannya atau diduduki dengan menyampaikan mesej-Nya kepada orang lain.
Ada yang menakrifkan cinta, dalam konteks kasih Allah di antara hambaNya, seperti berbuat baik, ketaatan, pengabdian, dan penyerahan tanpa syarat dalam konteks cinta hamba Allah.
Ini syair wanita Sufi terkenala Rabi'a al-'Adawiya sangat penting dalam menyatakan makna ini:
Anda bercakap tentang Tuhan yang mengasihi semasa anda menderhaka kepadaNya;
Saya bersumpah dengan hidup saya bahawa ini adalah sesuatu yang sangat pelik.
Jika anda benar cinta , anda akan taat kepada-Nya,
Kerana seorang pecinta taat kepada yang dicintainya.
Cinta adalah berdasarkan dua tiang penting: apa yang ditunjukkan oleh tindakan yang kekasih (kekasih cuba mematuhi kehendak Kekasih), dan dunia dalaman yang kekasih (kekasih yang perlu dari segi dalaman ditutup untuk apa-apa yang tidak berkaitan dengan-Nya).
Lelaki dan wanita Allah yang benar bermakna apabila mereka bercakap tentang cinta. Menurut mereka, kebimbangan emosi atau cinta kepada apa-apa jenis keseronokan, termasuk orang-orang rohani atau kepentingan, tidak boleh dipanggil "cinta" dalam erti kata sebenar. Ia hanya boleh menjadi cinta kiasan.
Setiap kekasih tidak boleh berasa tahap yang sama cintakan pada Kekasih, cinta berbeza-beza mengikut rohani dan emosi mendalam kekasih, tahap kesedaran dan penjagaan dalam ketaatan kepada Kekasih.
Sebagai contoh, cinta yang dirasai oleh mereka yang bermula dengan cara yang tidak ditubuhkan dan berterusan. Mereka bermimpi memperoleh pangkat kebaikan sempurna dan, pada masa-masa, menerima tanda-tanda yang mengetahui tentang Tuhan, keseronokan yang sekejap daripada "cahaya" yang terdapat di kaki langit, dan merasa kehairanan dan tertanya-tanya.
Sebaliknya, mereka yang telah membuat banyak kemajuan terbang di langit cinta ke arah titik tertinggi.
Mereka hidup dalam iklim yang terang dari Al-Quran sebagai penjelmaan dan contoh akhlak terpuji Nabi Muhammad SAW, apabila dia menjadi keamanan dan rahmat. Ketika cuba untuk mewakili akhlak yang baik, mereka tidak mengharapkan sebarang balasan kebendaan atau spiritual dan tidak menuntut kesenangan.
Malah di puncak suci ini, seperti pokok buah-buahan yang bengkok kerana dengan berat buah-buahan mereka, mereka merendahkan sayap mereka merendah diri dan sentiasa menyebut Kekasih. Jika mereka digoncang dengan suatu kesalahan atau kesilapan, mereka mengkritik teruk dan berjuang dengan diri mereka.
Dan akhirnya, mereka yang paling maju dalam menajdi kekasih Tuhan seperti awan hujan di dalam "syurga" Islam. Mereka merasakan kewujudan-Nya, hidup dengan Dia, dan melihat dan menarik nafas oleh-Nya.
Dalam kitaran yang tidak berkesudahan, mereka penuh dengan kesedihan perpisahan (dari kebenaran) dan keinginan untuk menemui-Nya; apabila lega atau dikosongkan, mereka naik pada pancaran cahaya dan turun ke bumi untuk memeluk seluruh kewujudan.
Orang yang berpaling kepada-Nya dengan sepenuh hati keinginan dan semangat yang ikhlas, tanpa mengira tahap cinta, menerima ganjaran mengikut kedalaman perasaan dan kebimbangan bagi-Nya.
Kumpulan pertama orang yang disebutkan di atas menerima kurniaan istimewa dan belas kasihan. Kumpulan kedua orang mencapai ufuk Keperibadian Rahmat dan dibebaskan daripada kecacatan watak.
Dengan kumpulan ketiga diserikan oleh cahaya Wujud-Nya, dikejutkan dengan realiti , dan berhubung dengan dimensi kewujudan belakang tabir iaitu, Yang Maha Kuasa menjelma cahaya untuk membakar sifat-sifat jasmani dari orang-orang yang Ia kasihi dan mengangkat mereka ke alam sifat-sifat Ilahi, seperti Yang Maha Melihat dan Maha Mendengar.
Dia menyedarkan mereka sepenuhnya kepada fakta bahawa mereka adalah miskin dan tidak berdaya di hadapan-Nya, dan memenuhi hati mereka dengan cahaya kewujudan-Nya.
Seseorang yang kasih sayang telah mencapai tahap ini, dan diberi ganjaran dengan nikmat Ilahi begitu banyak, mencapai kehidupan yang kekal di luar ada wujud atau tidak. Seperti bar besi dimasukkan ke dalam api dan dengan itu muncul sebagai bar kebakaran, seperti kekasih yang tidak dapat membezakan Menjadi Ilahi dan manifestasi-Nya, dan oleh itu meluahkan perasaan dan pengalaman dari segi yang berkaitan dengan kepercayaan itu palsu , sebagai penjelmaan dan kesatuan (dengan Tuhan). Dalam keadaan sedemikian, seseorang itu perlu mengambil kira kriteria yang ditetapkan Sunnah ini.
Ungkapan yang diucapkan oleh individu yang rohani hilang dan tenggelam dalam kasih Tuhan dan mabuk dengan cinta Allah, tidak boleh digunakan sebagai kriteria yang digunakan untuk menilai mereka.
Jika tidak, kita mungkin merasa bermusuhan ke arah rakan-rakan seperti Tuhan, yang digemari dengan berterusan beliau menurut Tradisi Nabi: Seorang lelaki adalah dengan dia yang dia suka, dan, seperti yang diisytiharkan dalam hadis Qudsi: Sesiapa yang menjadi musuh terhadap kawan-kawan ku, telah melancarkan perang ke atas-Ku.
0 komentar:
Posting Komentar